PintuInformasi.com

Informasi Terpercaya

Nasib komunitas adat O’Hongana Manyawa di sekitar rantai pasok Tesla di Halmahera

Meski telah ada sejak ratusan tahun silam, orang Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa terus saja disalahartikan, dikriminalisasi, dan diusir dari rumah sendiri, terutama setelah 'demam nikel' melanda Pulau Halmahera. Mengapa Tesla memberi perhatian lebih pada mereka? Bokum dan Nuhu sedang terlelap saat polisi menyergap dan menangkap keduanya pada pukul 02.00 dini hari.

Keduanya adalah orang Tobelo Dalam yang sehari hari tinggal di hutan Ake Jira. Malam itu, 1 Maret 2015, Bokum dan Nuhu tengah menumpang beristirahat di rumah Oti Maliong, kenalan mereka di Desa Woejerana, Halmahera Tengah, yang terletak tak jauh dari wilayah hutan mereka. Mereka diciduk karena diduga telah membunuh dua warga Desa Waci, Halmahera Timur, pada 8 Juli 2014.

Dua korban yang dimaksud adalah Masud Watoa dan anaknya, Marlan, yang baru berusia tujuh tahun. Saat kejadian, Masud, Marlan, dan empat orang lain tengah dalam perjalanan ke luar hutan Waci setelah lima hari mencari gaharu – merujuk laporan investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang terbit Oktober 2023. Program Petani Milenial Bergaji Rp 10 Juta, Petani Muda Tapin Ini Semangat Kembangkan Hidroponik

Nasib 4 Jaksa Kejari Konsel Kena Imbas Kasus Guru Supriyani, Benarkah Terima Uang Rp 15 Juta? Surya.co.id Sekitar pukul 12.30 WIT, mereka mengaku berpapasan dengan enam orang yang diduga anggota komunitas Tobelo Dalam. Dua di antaranya, kata mereka dalam laporan investigasi KontraS, membawa panah dan parang yang diacungkan. Para pencari gaharu sontak melarikan diri, berusaha secepat mungkin menyeberangi sungai Waci.

Sebelum bisa menyeberang sungai, Marlan, sang bocah, terjatuh. Menurut kesaksian para pencari gaharu, dua dari enam orang asing itu membacoknya berulang kali hingga tewas. Masud, yang terlambat menyadari anaknya tertinggal, berlari kembali ke arah penyerang. Ia berhasil mengambil jasad anaknya, lantas angkat kaki. Namun, tiga anak panah menancap di kaki kanan, bokong, dan dadanya. Masud terjatuh. Saksi menyebut, dua orang bergantian membacoknya hingga tewas lalu pergi.

Empat orang lain selamat, termasuk Abutalib Bakir, yang segera melaporkan kejadian itu ke Polres Halmahera Timur. Selewat enam bulan, polisi tak kunjung berhasil menemukan jejak kedua pelaku. Padahal, tekanan untuk meringkus pelaku terus datang dari keluarga korban dan warga Desa Waci. Kejadian ini sempat viral di media sosial. Foto foto orang Tobelo Dalam pun beredar, termasuk yang diambil para peneliti untuk kepentingan riset. Di beberapa foto itu, muncul wajah Bokum dan Nuhu.

Polisi lantas mencocokkan wajah Bokum dan Nuhu dengan deskripsi pelaku yang disampaikan Abutalib: memiliki kumis, janggut, dan jambang yang tebal, dengan model rambut yang terikat, lurus, dan tampak kusut. Polisi menunjukkan sejumlah foto Bokum dan Nuhu pada Abutalib, yang kemudian meyakini mereka pelakunya. Berbekal konfirmasi Abutalib itu, polisi menangkap keduanya. "Korban selamat ketika itu memberikan ciri ciri pelaku pembunuhan yang deskripsinya sangatlah umum [bagi komunitas Tobelo Dalam]," tulis KontraS di laporan investigasinya.

"Ketika itu, kuasa hukum sudah merasa janggal ketika korban dapat langsung mengenali Bokum dan Nuhu dari foto yang diberikan oleh pihak kepolisian, sementara masih terdapat empat orang lainnya yang mereka tidak mengetahui identitasnya." Tak hanya itu, KontraS pun mencatat sejumlah kejanggalan lain di balik penangkapan Bokum dan Nuhu. Sejumlah saksi mengatakan, di hari hari sebelum dan sesudah pembunuhan di hutan Waci, keduanya terlihat ada di dan sekitar Hutan Ake Jira.

Hutan Ake Jira berjarak puluhan kilometer dengan hutan Waci. Karena itu, KontraS dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai tak mungkin Bokum dan Nuhu bisa tiba tiba berada di hutan Waci dan melakukan pembunuhan. Munadi Kilkoda, yang pada 2015 menjabat ketua AMAN Maluku Utara, juga bilang Bokum dan Nuhu mesti berjalan melewati wilayah adat beberapa kelompok Tobelo Dalam lainnya untuk mencapai hutan Waci. Orang Tobelo Dalam, yang dikenal pula sebagai O’Hongana Manyawa atau "orang yang hidup di hutan", biasanya tak berani asal masuk atau melewati wilayah adat kelompok lain di hutan tanpa izin.

Syaiful Madjid, peneliti masyarakat adat Tobelo Dalam sekaligus saksi ahli dalam sidang Bokum dan Nuhu, bilang orang Tobelo Dalam hanya akan membunuh bila ada sistem sosial yang dilanggar. "Terdapat dua alasan utama mereka akan membunuh, yakni bila wilayah hutan mereka dimasuki oleh kelompok masyarakat adat lain dan selanjutnya adalah jika ada yang merampas istri dari masyarakat adat lain," tulis KontraS dalam laporan investigasinya, merujuk hasil wawancara mereka dengan Syaiful. Pembunuhan sadis yang terjadi di hutan Waci juga disebut bertolak belakang dengan kebiasaan orang Tobelo Dalam, yang setelah membunuh sekalipun biasanya akan merawat jasad korban hingga ada pihak yang datang mengambilnya.

Namun, meski AMAN dan Komnas HAM berulang kali menyuarakan kejanggalan kejanggalan itu dan menyerukan penangguhan penahanan Bokum dan Nuhu, polisi tetap melanjutkan proses hukum terhadap keduanya. "Penangkapan sudah sesuai prosedur," kata Hendri Badar, yang saat itu menjabat sebagai kepala humas Polda Maluku Utara, kurang lebih seminggu setelah penangkapan. Akhirnya, pengadilan menyatakan Bokum dan Nuhu bersalah dan menghukum mereka 15 tahun penjara.

Lima tahun setelah masuk bui, Nuhu meninggal karena sakit pinggang yang tak pernah diobati. Sementara itu, Bokum bebas pada 24 Januari 2022 setelah menjalani kira kira setengah masa hukumannya. Ditemani Syaiful, Bokum kembali ke hutan Ake Jira, mencoba mencari keluarga yang telah ditinggalkan tujuh tahun lamanya. Saat itulah ia sadar, sebagian wilayah rumahnya di hutan telah hilang, berganti jadi wilayah operasi perusahaan tambang.

Selama beberapa tahun terakhir, tanpa Bokum tahu, demam nikel telah melanda Halmahera. Oktober 1996, seorang geolog Australia berusia 30 tahun tiba dengan helikopter di Halmahera dan mengubah wajah pulau itu selamanya. Geolog itu dikirim Strand Minerals, anak usaha Weda Bay Minerals asal Kanada, untuk meneliti potensi nikel di sana.

Pekerjaannya tak mudah. Ia kerap harus memasuki wilayah pegunungan tanpa jalan setapak sembari memikul sendiri sejumlah peralatan dan perbekalan saat melakukan eksplorasi. Wilayah itu pun penuh hutan lebat, yang disebut jadi rumah bagi berbagai jenis ular, laba laba, burung, pun orang orang Tobelo Dalam yang diperkirakan telah hidup nomaden di sana sejak setidaknya ratusan tahun silam. "Di sini kami berada di ujung dunia, di perbatasan Asia, dengan satu kaki telah menapaki Melanesia," kata Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis yang kini menguasai sebagian saham Strand Minerals, dalam artikel yang sempat diunggah di situsnya berjudul "Kisah sukses Weda Bay Nickel".

Di artikel itu, Eramet menceritakan perjalanan awal Strand Minerals dalam meneliti dan menemukan "deposit nikel kelas dunia" di Halmahera. "Sejak abad ke 16 hingga 200 tahun setelahnya, wilayah ini sangat menarik perhatian negara negara Eropa karena rempah rempahnya yang bisa dijual lebih mahal daripada emas, sebelum kemudian ia dilupakan," tulis Eramet mengenai Halmahera. "Fase eksplorasi mendatang akan mengembalikan sorotan ke sudut dunia yang satu ini."

Dan, benar saja. Hasil eksplorasi awal menunjukkan sejumlah daerah di Halmahera memiliki sumber daya nikel berstatus terindikasi dan terekam dengan jumlah berlimpah: 90 juta ton kering. Dari sana, berdirilah PT Weda Bay Nickel (WBN), yang 90% sahamnya dikendalikan Strand Minerals dan 10% sisanya dipegang BUMN PT Aneka Tambang (Antam). PT WBN lantas meneken Kontrak Karya Generasi VII dengan pemerintah Indonesia pada awal 1998 dan mendapat izin 30 tahun untuk menambang nikel di lahan seluas 120.500 hektare di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Kini, setelah sejumlah negosiasi antara PT WBN dan pemerintah, wilayah konsesi perusahaan memang telah menciut jadi "hanya" 45.065 hektare. Namun, ia tetap tercatat sebagai konsesi nikel terbesar di Pulau Halmahera dan terbesar kedua di Indonesia. Per Januari 2019, perkiraan sumber daya bijih nikel di wilayah konsesi PT WBN di Pulau Halmahera tercatat mencapai 634,9 juta ton. Pulau Halmahera, yang masuk dalam Provinsi Maluku Utara di wilayah Kepulauan Maluku, memang merupakan salah satu lumbung nikel Indonesia.

Per 2022, data pemerintah menunjukkan Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel terukur hingga 3,6 miliar ton serta cadangan terbukti sebesar 1,64 miliar ton. Dari angka cadangan terbukti itu, 56,8% berasal dari Pulau Sulawesi dan 42,4% dari Kepulauan Maluku. Maka wajar melihat ratusan konsesi tambang nikel tersebar di dua wilayah tersebut.

Hingga akhir 2023, ada 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear dengan luas total 960.117 hektare di Indonesia, entah dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan ataupun Kontrak Karya. Sebanyak 309 konsesi di antaranya tersebar di provinsi Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah dengan luas total 691.929,6 hektare. Sementara itu, ada 59 konsesi di Maluku Utara dan hanya satu di Maluku dengan luas gabungan 231.486,4 hektare.

Meski PT WBN telah meneken Kontrak Karya sejak awal 1998, operasi penambangan bijih nikel di Maluku Utara, utamanya Pulau Halmahera, baru benar benar marak sekiranya lima tahun terakhir. Ini terjadi karena beberapa hal, termasuk situasi politik yang tak menentu, kebijakan yang berubah ubah dari pemerintah Indonesia, dan anjloknya harga nikel dunia. Pada Mei 1998, hanya beberapa bulan setelah Kontrak Karya PT WBN diteken, presiden otoriter Soeharto lengser. B.J. Habibie lantas mengisi posisi presiden hingga Oktober 1999.

Di periode singkat pemerintahannya, Habibie menerbitkan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Padahal, wilayah konsesi PT WBN mencakup hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektare. Karena itu, perusahaan menghentikan kegiatan eksplorasinya pada 2001. PT WBN bersama 11 perusahaan tambang lain yang operasinya terdampak lalu bernegosiasi dengan pemerintah agar mendapat pengecualian, apalagi mengingat izin mereka terbit sebelum adanya UU tersebut.

Pemerintah setuju. Karena itu, PT WBN bisa kembali beroperasi di wilayah hutan Halmahera Tengah dan Timur – termasuk hutan lindung – yang secara turun temurun telah menjadi ruang hidup masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Pada Mei 2006, perusahaan asal Prancis Eramet mengakuisisi Weda Bay Minerals sehingga memiliki kontrol penuh atas Strand Minerals, yang memegang 90% saham PT WBN. PT WBN lalu menjalankan studi kelayakan awal proyek pada September 2007 hingga Maret 2009 dan mengurus dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), yang kemudian terbit pada Juni 2009.

Masalahnya, berdasarkan temuan Non Judicial Human Rights Redress Mechanisms Project, proses pembuatan AMDAL tersebut diduga cacat prosedur. Saat tahap konsultasi publik, PT WBN memang mengundang perwakilan masyarakat adat Sawai yang tinggal di wilayah konsesi perusahaan. Namun, mereka disebut baru menerima dokumen ratusan halaman untuk dipelajari sesaat sebelum pertemuan berlangsung. "Perwakilan desa tidak mengetahui bahwa konsesi tambang akan berdampak pada akses warga terhadap lahan pertanian mereka di kawasan hutan lindung," tulis Non Judicial Human Rights Redress Mechanisms Project dalam laporan risetnya yang terbit pada September 2013.

"[Salah satu] kepala desa mengatakan bila ia tahu warga akan kehilangan akses ke lahan yang telah mereka garap secara turun temurun, ia tidak akan menyetujui AMDAL itu." Setelah AMDAL terbit, PT WBN mulai bernegosiasi dengan komunitas adat Sawai untuk mengakuisisi lahan mereka. Negosiasi berlangsung tahunan, terutama karena kedua pihak tak kunjung sepakat soal nilai kompensasi lahan. PT WBN disebut menawar Rp7.000 hingga Rp8.000 per meter persegi, jauh di bawah angka Rp50.000 yang diajukan sejumlah warga.

Di sisi lain, PT WBN disebut tidak pernah meminta persetujuan orang Tobelo Dalam untuk menggunakan tanah ulayat mereka yang masuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Perusahaan disebut "tidak yakin" bagaimana cara yang tepat bernegosiasi dengan mereka. "Ini masih jadi masalah tanggung jawab sosial yang serius dan mendesak bagi PT Weda Bay Nickel," seperti tertulis dalam laporan Non Judicial Human Rights Redress Mechanisms Project.

Urusan lahan belum usai, datang masalah lain. Krisis ekonomi di Eropa, ditambah jatuhnya harga nikel dunia karena pasokan berlebih, membuat banyak perusahaan tambang merugi besar di 2013, termasuk Eramet. Alhasil, Eramet beserta Mitsubishi Corp. dan Pacific Metals, dua mitra asal Jepang yang ikut berinvestasi di Strand Minerals sejak 2009 dan 2011, memutuskan menunda investasi mereka di proyek tambang PT WBN di Pulau Halmahera. Apalagi, pemerintah Indonesia berencana melarang ekspor bijih nikel mulai awal 2014 untuk mendorong pengembangan industri pengolahan hasil tambang domestik.

Karena situasi yang serba tak menentu, Mitsubishi dan Pacific Metals menjual kembali saham mereka di Strand Minerals ke Eramet pada April 2016. Titik baliknya baru muncul pada 2017. Saat itu, pemerintah Indonesia melonggarkan larangan ekspor bijih nikel berkadar tertentu dengan syarat perusahaan tambang harus membangun smelter baru di Indonesia. Di tahun yang sama, Eramet resmi bekerja sama dengan Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat raksasa yang belakangan masuk ke industri baterai kendaraan listrik, untuk menghidupkan kembali proyek PT WBN.

Tsingshan mengambil kontrol 57% atas Strand Minerals, yang secara tak langsung membuatnya jadi pemegang saham mayoritas PT WBN. Sementara itu, sisa saham 43% Strand Minerals masih dikendalikan Eramet. Setelah menguasai pasokan bijih nikel dari tambang PT WBN, Tsingshan bersama sejumlah mitra dari China membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah sejak Agustus 2018. Kawasan ini, yang dikelola PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), diharapkan jadi rumah bagi berbagai smelter, utamanya untuk mengolah bijih nikel menjadi bahan baku komponen baterai kendaraan listrik.

Aktivitas pertambangan PT WBN lantas dimulai pada Oktober 2019, hanya dua tahun sejak Tsingshan jadi pengendali utama. Tak lama, Kawasan Industri Weda Bay mulai beroperasi pada April 2020. Luas kompleks ini telah mencapai 5.000 hektare per 2022. Sejak Tsingshan masuk Halmahera, bisa dikatakan bisnis pertambangan dan pengolahan nikel setempat berkembang pesat, seiring dengan berkembangnya tren penggunaan kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon dan melawan laju pemanasan global.

Namun, apa yang seharusnya menjadi "industri hijau" ini justru dibangun dengan membabat hutan lindung Halmahera rumah berbagai jenis ular, laba laba, burung, dan orang orang Tobelo Dalam. Faris Bobero heran. Ia tumbuh besar di Tobelo, sebuah kecamatan di kawasan pesisir Halmahera Utara. Sebagian besar masa SD dan tiga tahun periode SMA nya dihabiskan di sana.

Namun, selama itu pula, sejauh yang ia tahu hanya ada tiga kepala keluarga di Tobelo yang menggunakan marga Bobero: ayahnya, kakaknya yang telah menikah, dan pamannya. "Saya penasaran, kok cuma sedikit yang pakai marga ini?" kata Faris. Mulanya, rasa penasaran itu Faris simpan sendiri. Namun, ia jadi tergerak mencari tahu gara gara sebuah kejadian ganjil pada 2006.

Saat itu, jelang kelulusan SMA, Faris mengikuti karyawisata yang diadakan sekolahnya ke beberapa daerah di Halmahera Timur. Di tengah perjalanan laut, Faris tak sengaja tertidur sehingga tak tahu teman temannya pindah kapal untuk menyambangi satu kampung. Teman temannya pun tak sadar Faris ketiduran. Karena itu, ia ditinggal. Setelah bangun, Faris terpaksa pulang ke Tobelo sendirian, mengikuti arah kapal yang ditumpanginya sejak awal.

Di sisi lain, saat teman temannya tiba di kampung yang dituju, ada "tiga orang tinggi" yang menyambut dan menanyakan, "Faris mana?" Mereka bilang mereka saudara Faris, sesama fam Bobero. Sekembalinya ke Tobelo, teman teman mengatakan ke Faris, "Ada saudara saudara kamu menanyakan kamu."

Faris bingung. Saudara yang mana? Kalaupun benar saudara, mengapa mereka bisa tahu Faris berencana datang ke sana? Faris lalu bertanya pada ayahnya soal keberadaan anggota keluarga Bobero lainnya.

Ayahnya bilang, sebenarnya ada banyak anggota keluarga Bobero, terutama di generasi kakek Faris. Namun, dulu, sebagian besar dari mereka menghilangkan marganya untuk menghindari belasting atau pungutan pajak penjajah Belanda. Dari sana, Faris berniat mencari tahu lebih banyak soal asal usulnya. Ia lantas memutuskan kuliah sosiologi di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) pada 2006.

Setelah jadi mahasiswa, ia aktif di Perhimpunan Institut Lingkar Arus Studi (PILAS), yang kemudian bekerja sama dengan Sokola Rimba menjalankan program literasi bagi orang Tobelo Dalam. Melalui program literasi itu, Faris berkesempatan tinggal bersama komunitas Tobelo Dalam selama hampir tiga bulan pada 2008 di dalam hutan di wilayah Tidore Kepulauan di Pulau Halmahera. Baru lima hari tinggal di hutan, Faris iseng menyambangi salah satu tempat sakral orang Tobelo Dalam. Tak lama, ia kembali.

Kawan kawan Tobelo Dalam kaget mengetahui ia pergi ke sana dan kembali baik baik saja. "Orang orang dari luar biasanya hilang atau sakit ketika melihat tempat itu," kata mereka pada Faris. Selewat lima hari, tak ada tanda tanda Faris sakit apa pun.

Mereka heran, lalu bertanya pada Faris, "Pak guru ini siapa?" Faris memberi tahu nama lengkapnya. Mereka kaget. "Kamu bukan orang lain. Ini wilayah kamu," kata mereka.

Setelah menelusuri lebih jauh, Faris menemukan bahwa marganya, Bobero, adalah turunan dari Tobelo Boeng, salah satu subetnik suku Tobelo. Kejadian ini kemudian membuatnya kian bersemangat mendalami kehidupan suku Tobelo di saat dan setelah lulus kuliah, entah sebagai wartawan, peneliti, ataupun aktivis. Dan, penelusurannya selama bertahun tahun menunjukkan bahwa kisah orang Tobelo adalah kisah yang lekat dengan kekalahan.

Berbagai catatan sejarah dan etnografis menunjukkan suku Tobelo adalah penduduk asli di semenanjung utara dan tengah Pulau Halmahera. Selama ratusan tahun, kata peneliti Roem Topatimasang, suku Tobelo berulang kali berhadapan dengan gelombang perubahan besar yang mencerabut budaya dan menyingkirkan mereka dari rumahnya sendiri. Pada abad ke 19, Sultan Ternate memaksa suku Tobelo mengadaptasi struktur pemerintahan adat resmi Ternate, yang imbasnya merombak struktur sosial suku Tobelo, termasuk yang terkait batas batas hoana atau permukiman mereka.

Ini dilakukan untuk membendung pengaruh simpatisan Sultan Tidore – musuh bebuyutan Sultan Ternate – kepada orang orang Tobelo. Kristenisasi juga disebut berperan penting mengubah kehidupan suku Tobelo, terutama sejak tibanya penginjil Hendrik Van Dijken pada 1866 di wilayah Galela, Halmahera. Penginjilan besar besaran, kata Roem, berhasil membuat sebagian besar orang Tobelo memeluk agama Kristen Protestan dan, imbasnya, meninggalkan ritus pemujaan asli Tobelo.

Salah satu contohnya adalah upacara kematian, yang biasanya menjadi upacara (sekaligus pesta) terbesar orang Tobelo. Ini akhirnya digantikan dengan upacara penguburan biasa sesuai tata cara Kristen Protestan. "Akibatnya amat gamblang," tulis Roem di buku Orang orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (2016). "Salah satu basis terpenting dan paling inti dari konsep kosmologis asli Tobelo secara drastis dicabut dari alam pikiran orang Tobelo dan digantikan dengan konsep Kristen Barat."

Gelombang perubahan besar selanjutnya datang dari pemerintah Indonesia, yang memaksakan program resettlement atau permukiman kembali kepada orang Tobelo atas nama modernisasi sejak 1960 an. Dengan begitu, orang Tobelo diharapkan bermukim di tempat permanen alih alih hidup nomaden di hutan. Program ini lahir dari stereotip bahwa orang Tobelo yang masih tinggal di hutan adalah "suku suku terasing, terbelakang, primitif, animis" yang dianggap "perlu diperadabkan, dimajukan, dibina, dimasyarakatkan, dan diagamakan", kata Roem.

Roem menggunakan istilah Tobelo Dalam untuk mereka yang masih tinggal di hutan dan memegang teguh nilai nilai tradisional, serta Tobelo Luar untuk mereka yang telah menetap di wilayah pesisir dan perkotaan. Namun, orang Tobelo Dalam lebih nyaman menyebut diri mereka sebagai O’Hongana Manyawa, yang dalam bahasa Tobelo berarti 'orang yang hidup di hutan'. Sementara itu, mereka menyebut orang Tobelo Luar sebagai O’Hoberera Manyawa. Di luar itu, ada dua istilah lain yang kerap digunakan pemerintah dan bahkan orang Tobelo Luar untuk menyebut mereka yang masih tinggal di hutan: orang tunabudaya dan Togutil.

Secara konotatif, "Togutil" kerap dimaknai sebagai "bodoh", "terbelakang", atau "tertinggal". "Sebutan [Togutil] itu sendiri tak digunakan sama sekali oleh orang Tobelo Dalam untuk menyebut diri mereka," kata Roem. "Hanya kalangan pendatang dan orang Tobelo Luar yang menggunakannya, juga tanpa mampu menjelaskan apa arti dan asal muasalnya dan siapa saja yang termasuk dalam kategori orang Togutil."

Tak mudah membujuk orang orang Tobelo Dalam untuk mengikuti program permukiman kembali dari pemerintah. Pada 1978, misalnya, Departemen Sosial harus merekrut orang Tobelo Luar bernama Madiki untuk tinggal di hutan Dodaga di Halmahera Timur selama berbulan bulan demi membujuk orang orang Tobelo Dalam di sana untuk bermukim di luar. Kebetulan, leluhur Madiki berasal dari hutan Dodaga sehingga para O'Hongana Manyawa setempat bisa menerima kehadirannya, tulis Faris dalam bukunya berjudul Orang Halmahera: Sebuah Catatan dari Lapangan (2021).

Setelah orang Tobelo Dalam keluar hutan, mereka pun tak terbiasa tinggal di rumah rumah yang telah disiapkan pemerintah. Belum lagi, banyak yang mendadak terserang penyakit muntaber hingga beberapa di antaranya meninggal dunia. Ini kemungkinan terjadi karena tidak adanya kekebalan tubuh orang Tobelo Dalam saat dipaksa hidup di "dunia luar". "Penyakit yang diderita oleh warga yang keluar hutan dan tinggal di rumah bikinan Depsos ini menimbulkan kecurigaan kepada orang kampung Dodaga," kata Faris.

"Mereka merasa terancam, sehingga pada tahun 1979 1980 banyak yang kembali ke hutan melanjutkan cara hidup seperti sebelumnya." Meski begitu, pemerintah tak menyerah dan terus berusaha memukimkan orang Tobelo Dalam. Per 1993, Departemen Sosial Provinsi Maluku (yang saat itu masih mencakup wilayah Maluku Utara) mencatat ada 4.751 orang Tobelo Dalam yang terbagi ke dalam 1.104 keluarga yang telah dimukimkan pemerintah di luar hutan.

Lokasi permukiman mereka tersebar di 15 desa di dua kabupaten yang sekarang disebut Halmahera Utara dan Halmahera Tengah. Program permukiman kembali ini, pada kenyataannya, tak bisa dipisahkan dari kepentingan ekonomi. Peneliti Roem mengatakan, pemerintah menggunakan istilah istilah seperti "konservasi" dan "rehabilitasi" hutan sebagai dalih memukimkan kembali orang Tobelo Dalam, meski sesungguhnya ada agenda tersembunyi: eksploitasi sumber daya alam besar besaran di wilayah adat yang telah ditinggalkan.

Pada 1970 an hingga 1980 an, menurut catatan Roem, terjadi penebangan masif di hutan hutan Halmahera untuk melancarkan ekspor kayu gelondongan mentah. Setelah pemerintah memperketat kebijakan ekspor komoditas ini, eksploitasi terus berlanjut seiring dengan berdirinya pabrik pabrik pengolahan kayu di sana. Sejak pertengahan 1980 an, berbagai survei pun mulai dilakukan untuk mengidentifikasi potensi komoditas tambang di wilayah ini, termasuk batubara, mangan, dan kemudian nikel. Dan, kini, eksploitasi besar besaran benar terjadi, dengan nikel sebagai komoditas utama yang dicari.

Imbasnya, tingkat deforestasi melonjak tinggi dan orang Tobelo Dalam terus terusir dari rumahnya sendiri. Deforestasi di 51 wilayah konsesi tambang nikel di Maluku Utara setidaknya telah menyentuh 8.145,51 hektare per 2023, menurut LSM lingkungan Mighty Earth. Angka ini dihitung sejak masing masing konsesi tersebut terbit atau mengalami penyesuaian terakhir. Sementara itu, menurut riset Survival International, ada 18 konsesi tambang nikel yang tumpang tindih dengan wilayah orang Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa di hutan hutan Pulau Halmahera, yang secara administratif masuk wilayah Tidore Kepulauan, Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur.

Total luas area yang tumpang tindih tercatat sebesar 90.819,91 hektare, yang 37,24% nya adalah wilayah konsesi PT Weda Bay Nickel (WBN). Padahal, di hutan yang tersebar di tiga wilayah tersebut, Survival International memperkirakan masih ada 300 500 O’Hongana Manyawa yang secara aktif menghindari kontak dengan dunia luar. "Penambangan menghancurkan rumah mereka di hutan, dan para pekerja tambang membawa penyakit [bagi O’Hongana Manyawa] yang tidak memiliki kekebalan tubuh [untuk melawannya]," kata Survival International dalam pernyataan tertulisnya.

Imbasnya, sejumlah anggota kelompok O’Hongana Manyawa sempat keluar hutan, entah untuk melawan ataupun meminta pertolongan. Misal, dalam sebuah video yang viral pada Oktober 2023, dua O’Hongana Manyawa tampak mencoba mengusir pekerja yang sedang mengoperasikan buldoser di seberang sungai. Di video lain yang beredar pada Juni 2024, tiga O’Hongana Manyawa terlihat mendatangi kamp eksplorasi PT WBN untuk meminta makanan.

Caroline Pearce, Direktur Survival International, bilang video video ini adalah "bukti nyata" bahwa operasi tambang nikel telah merambah jauh ke dalam hutan Halmahera dan menyingkirkan komunitas O’Hongana Manyawa dari ruang hidupnya sendiri. BBC telah berulang kali mencoba menghubungi Tsingshan Holding Group untuk meminta komentar mereka sebagai pemegang saham mayoritas PT WBN, baik lewat telepon ataupun surat permohonan resmi, tapi tidak berhasil hingga tulisan ini terbit. Meski begitu, Eramet SA selaku pemilik PT WBN lainnya menepis kekhawatiran publik yang muncul setelah viralnya dua video O’Hongana Manyawa keluar dari hutan.

Eramet mengatakan kejadian O’Hongana Manyawa mengusir pekerja tambang tidak terjadi di wilayah konsesi PT WBN. Video kedua pun justru disebut menunjukkan "kunjungan sukarela" O’Hongana Manyawa ke kamp PT WBN, serta menggambarkan "hubungan bersahabat" dan "saling percaya" yang telah terjalin antara mereka dan karyawan perusahaan. "Eramet memahami kekhawatiran yang disampaikan oleh LSM mengenai potensi dampak operasi kami melalui WBN terhadap masyarakat suku O'Hongana Manyawa," kata Eramet dalam pernyataan tertulisnya pada BBC News Indonesia.

"Namun, Eramet yang menempatkan hubungan masyarakat dan tanggung jawab sosial perusahaan di setiap aspek operasinya, bertekad untuk melaksanakan perannya demi hak hak dasar masyarakat setempat dan dengan tegas menolak tuduhan yang bertentangan." Eramet bilang telah melaksanakan studi untuk memahami kehidupan O'Hongana Manyawa pada 2013 dan 2023. Perusahaan pun berencana menjalankan studi lebih lanjut pada 2024 guna "merancang dan menerapkan rencana pelestarian yang sesuai" bagi O'Hongana Manyawa, utamanya yang berada di wilayah konsesi PT WBN.

Bagi Faris Bobero, urusannya sederhana: mesti ada kepastian hidup bagi O'Hongana Manyawa di Halmahera, yang ruang hidupnya terus tergerus akibat masifnya penambangan nikel di sana. "[Bagi O'Hongana Manyawa,] hutan itu bukan cuma sekadar urusan ekonomis," kata Faris. "Hutan itu memang rumah mereka, rumah untuk anak cucu ke depan."

Titik cerah bagi O'Hongana Manyawa muncul setelah Tesla menyatakan sikapnya. Dalam Impact Report 2023 yang dirilis Tesla pada Mei 2024, produsen mobil listrik itu mengalokasikan dua halaman spesifik untuk subtopik "Nikel: Mengurangi Dampak Lingkungan dan Sosial di Indonesia". Tesla memang tidak berinvestasi langsung di Indonesia. Namun, perusahaan milik konglomerat Elon Musk itu mengatakan 13% dari nikel yang digunakannya berasal dari Indonesia.

Produksi nikel Indonesia disebut terus "meningkat signifikan" dan porsinya di rantai pasok kendaraan listrik global diperkirakan bakal melonjak. "Transisi menuju kendaraan listrik tidak akan mungkin terjadi bila hanya mengandalkan nikel yang berasal dari luar Indonesia," tulis Tesla. "Risiko utama yang muncul dalam konteks ini berkaitan dengan emisi gas rumah kaca, penggundulan hutan, polusi air, hak hak komunitas adat dan masyarakat umum, serta kesehatan dan keselamatan pekerja di negara tersebut."

Secara lebih spesifik, Tesla mengatakan mereka telah berinteraksi dengan pemerintah, LSM, dan para pemasoknya untuk menjajaki perlunya penerapan " no go zone for mining " atau area bebas tambang, utamanya demi melindungi hak komunitas adat " uncontacted ". Para pemasok Tesla pun diharapkan menjalankan komitmen untuk melindungi hak masyarakat adat, utamanya terkait pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa paksaan atau free, prior, and informed consent (FPIC). Mudahnya, masyarakat adat berhak menyetujui atau menolak sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dijalankan di wilayahnya dan berpotensi memengaruhi ruang hidup mereka.

BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi Tesla untuk meminta penjelasan lebih mendetail soal apa yang disampaikan di Impact Report 2023 perusahaan. Namun hingga artikel ini diterbitkan, Tesla tidak memberikan merespons. Tesla bisa jadi merilis pernyataan soal perlindungan hak hak masyarakat adat untuk menjaga reputasinya sebagai produsen kendaraan listrik top dunia, kata Putra Adhiguna, analis dan direktur pelaksana Energy Shift Institute. Ini terutama mempertimbangkan tekanan dari investor di tengah derasnya kritik dari sejumlah LSM seperti Survival International, yang menyoroti risiko tersingkirnya komunitas adat karena serbuan tambang nikel.

"Transisi menuju 'energi hijau' membutuhkan rantai pasok yang 'hijau' pula, apalagi bila operasi perusahaannya berbasis di negara negara berkembang," kata Putra. Tesla kerap dianggap tolok ukur industri kendaraan listrik dunia dan, karenanya, diharapkan menerapkan standar tinggi dalam operasinya, tambah Putra. "Kalau Tesla tidak bisa memiliki standar yang tinggi, standar perusahaan perusahaan lainnya pun akan merosot."

Sophie Grig, peneliti senior Survival International, menyambut baik pernyataan Tesla terkait area bebas tambang bagi komunitas " uncontacted ", yang menurutnya merujuk komunitas O'Hongana Manyawa di Pulau Halmahera. "Satu satunya komunitas ' uncontacted ' di Indonesia yang terdampak operasi tambang nikel adalah O'Hongana Manyawa," kata Grig. "Karena itu, jelas bahwa mereka merujuk O'Hongana Manyawa dalam laporannya."

Pengertian komunitas " uncontacted " di sini mengikuti definisi Dewan HAM PBB soal masyarakat terisolasi, yang disebut sebagai "masyarakat adat atau subkelompoknya yang tidak menjaga kontak rutin dengan penduduk mayoritas dan cenderung menghindari kontak apa pun dengan pihak luar". Karena itu, kata Grig, meski ada sebagian anggota komunitas O'Hongana Manyawa yang telah berinteraksi dengan pihak luar, misalnya dengan pekerja tambang, tak berarti mereka tak lagi sah disebut " uncontacted ". Grig mengatakan no go zone adalah konsep lumrah yang telah diterapkan di sejumlah negara, termasuk Brasil dan Peru, untuk melindungi komunitas adat yang hidup dalam isolasi secara sukarela.

Pada praktiknya, akan ada batas batas untuk menandai ruang hidup komunitas adat tersebut yang kemudian tidak bisa dilewati oleh orang luar. "Sama sekali tidak ada aktivitas industri atau pertambangan yang boleh berlangsung di sana," kata Grig. "Orang luar pun tidak boleh masuk dan mengambil risiko menyebarkan penyakit pada komunitas uncontacted ."

Lebih lanjut, menurutnya pernyataan Tesla memberikan "sinyal kuat" pada para pemasoknya untuk tidak membeli bijih nikel dari perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah masyarakat adat atau yang tidak memedulikan hak hak mereka. Namun, Grig berharap Tesla tak sekadar menunjukkan sinyal dukungan terhadap penerapan area bebas tambang, tapi juga membuat kebijakan resmi untuk menolak membeli (produk olahan) nikel yang bersumber dari tambang bermasalah. Dalam Impact Report 2023, Tesla menyebut ada dua "pemasok langsung" nya yang memiliki fasilitas pengolahan nikel di Indonesia: Huayou Holding Group dan CNGR Advanced Material.

Sebagai konteks, mulanya hanya ada dua jalur utama pengolahan bijih nikel di Indonesia. Pertama, bijih nikel berkadar tinggi diolah dengan tekanan panas di smelter berteknologi rotary kiln electric furnace ( ) untuk menjadi feronikel atau nickel pig iron (NPI), yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan produksi baja nirkarat. Kedua, bijih nikel berkadar rendah diolah di pabrik berteknologi high pressure acid leaching ( ), yang menggunakan asam sulfat untuk memisahkan senyawa nikel dan kobalt dari bijih nikel. Hasilnya adalah endapan hidroksida campuran (MHP) yang bisa diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat, bahan baku baterai kendaraan listrik.

Karena itu, tadinya cukup mudah untuk membedakan mana fasilitas pengolahan nikel yang dirancang untuk mendukung produksi baja nirkarat dan baterai. Namun, pada Maret 2021, Tsingshan Holding Group menyampaikan pengumuman yang mengguncang industri nikel global. Ia berencana mengolah lebih lanjut NPI yang dihasilkan dari smelter RKEF untuk menjadi nikel matte berkadar tinggi, yang kemudian bisa dikonversi kembali menjadi nikel sulfat untuk baterai kendaraan listrik. "Sederhananya kan kalau orang berbicara baterai, [kalau dulu] ya ikuti saja pabrik HPAL nya ada di mana, dan pabrik HPAL kebanyakan ada di Morowali," kata Putra dari Energy Shift Institute.

"Tapi karena sekarang ada teknologi konversi NPI menuju bahan baku baterai, kita juga jadi sulit melacaknya. Itu yang agak repot." Belum lagi, CNGR juga mengembangkan fasilitas pengolahan bijih nikel dengan teknologi baru yang disebut oxygen enriched side blown furnace ( ), yang bisa menghasilkan nikel matte berkadar tinggi untuk bahan baku baterai. CNGR kini memegang saham (entah mayoritas ataupun minoritas) di perusahaan perusahaan patungan yang mengelola sejumlah proyek smelter OESBF, RKEF, dan pabrik katoda nikel, baik di Pulau Sulawesi, Halmahera, atau bahkan Kalimantan.

Khusus untuk Pulau Halmahera, CNGR memiliki saham di dua smelter RKEF di Kawasan Industri Weda Bay. Dalam pernyataan tertulisnya, CNGR tidak menjawab pertanyaan BBC News Indonesia terkait sumber pasokan bijih nikel untuk diolah di dua smelter RKEF tersebut. Namun, PT Weda Bay Nickel (WBN), yang sebagian besar konsesi tambang nikelnya disebut tumpang tindih dengan wilayah adat komunitas O'Hongana Manyawa, bisa jadi merupakan salah satu pemasoknya.

Itu karena Eramet SA, salah satu pemilik PT WBN, sempat menyatakan bahwa seluruh bijih nikel yang ditambang PT WBN bakal diolah di smelter milik perusahaan sendiri atau dijual ke berbagai smelter yang ada di Kawasan Industri Weda Bay. Saat ditanya mengenai laporan Survival International yang menyoroti pelanggaran hak dan perampasan ruang hidup O'Hongana Manyawa, Franciscus Manurung, manajer hubungan publik CNGR Indonesia, mengatakan pihaknya berdedikasi untuk "menghormati dan menjaga" hak hak masyarakat adat. Franciscus pun menilai pembahasan konsep no go zone for mining atau area bebas tambang sebagai "langkah penting" untuk memastikan terjaganya hak dan wilayah masyarakat adat.

"Kami percaya bahwa upaya kolaboratif dan dialog berkesinambungan sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan beretika di sektor pertambangan," katanya. Sementara itu, Huayou kini memegang saham di tiga proyek pabrik HPAL di Pulau Sulawesi. Ia pun tercatat punya porsi kepemilikan di dua pabrik HPAL, dua smelter RKEF, dan satu pabrik nikel sulfat di Kawasan Industri Weda Bay di Pulau Halmahera.

Di luar itu semua, Huayou tengah dalam proses membeli mayoritas saham PT Andalan Metal Industry, yang memiliki smelter RKEF lain di Kawasan Industri Weda Bay. Seluruh fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel tersebut secara spesifik dioperasikan untuk memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik, kata Stevanus, direktur urusan eksternal Huayou Indonesia. Menurut Stevanus, "sebagian besar" kebutuhan bijih nikel untuk seluruh smelter Huayou yang telah beroperasi di Kawasan Industri Weda Bay dipasok oleh PT WBN.

Dan, menurutnya, segala pertanyaan terkait perlindungan hak masyarakat adat lebih tepat diarahkan pada PT WBN sebagai penambang nikel. "Operasi pabriknya Huayou itu kan bukan berada di dalam lingkup konsesi PT Weda Bay Nickel, tetapi di kawasan industri," kata Stevanus. "Mereka yang membuka greenfield . Kalau kita kan bukan membuka greenfield . Kita kan tenant di dalam kawasan industri."

Namun, menurutnya perlu ada kajian komprehensif terlebih dahulu untuk menyelidiki luas sesungguhnya wilayah adat O'Hongana Manyawa sebelum pihak berwenang dapat menentukan batas batas area bebas tambang yang sesuai untuk melindungi mereka. "Kalau media Barat kan maunya kalau bisa ya semua, satu Pulau Halmahera, itu dibikin jadi untuk [komunitas] uncontacted ," kata Stevanus. "Bisa enggak? Realistis enggak?"

Sementara itu, di situsnya Eramet bilang "tidak ada bukti" bahwa komunitas O’Hongana Manyawa hidup terisolasi di dalam dan di sekitar wilayah konsesi PT WBN, meski temuan sejumlah LSM seperti Survival International dan Transparency International Indonesia mengatakan sebaliknya. Eramet pun mengatakan tidak ada dasar hukum di Indonesia yang mewajibkannya meminta FPIC masyarakat adat. Terlebih lagi, katanya, pemerintah Indonesia tidak mengklasifikasi komunitas O’Hongana Manyawa secara resmi sebagai masyarakat adat. Walau begitu, Eramet menyatakan "terbuka" dengan ide area bebas tambang.

"Kami tetap terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang terlibat untuk menemukan solusi yang memprioritaskan pengembangan sumber daya yang bertanggung jawab dan kesejahteraan masyarakat O'Hongana Manyawa," kata Eramet. Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bilang kuncinya memang ada di kolaborasi. Ia menyambut baik ide penerapan area bebas tambang untuk melindungi hak masyarakat adat, yang menurutnya juga selalu diperjuangkan AMAN di berbagai forum global.

Namun, tambahnya, penyusunan area tersebut harus melibatkan pihak pihak terkait dengan pemahaman memadai, termasuk para pakar atau akademisi serta komunitas masyarakat adat sendiri. "Masyarakat adat perlu didukung untuk melindungi hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat selama ini," kata Rukka. "Kenapa? Karena ekosistem terbaik, termasuk hutan yang ada saat ini, yang membuat kita masih bertahan sebagai sebuah peradaban dunia, itu semua ada karena masyarakat adat menjaganya."

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menolak permohonan wawancara dari BBC News Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun tidak menjawab pertanyaan kami soal wacana penerapan area bebas tambang. Namun, Agus Cahyono Adi, kepala biro komunikasi Kementerian ESDM, secara umum mengatakan PT WBN selalu "berkomitmen menaati peraturan yang ada dan menerapkan kaidah kaidah pertambangan yang baik".

Terkait hilangnya ruang hidup O'Hongana Manyawa akibat tambang nikel, Agus bilang pemerintah sangat prihatin dan telah menyiapkan sejumlah kegiatan untuk "memuliakan" dan "menyejahterakan" mereka. "Masyarakat tersebut mulai dimukimkan kembali ke area Halmahera Timur agar bisa mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan," kata Agus. "Beberapa dari mereka sudah mendapatkan pendidikan dasar. Untuk yang telah mendapatkan pendidikan dasar, mereka sudah mulai bekerja baik di lingkungan sekitar maupun di area pertambangan."

Solusi yang diambil pemerintah pada tahun 2024 ini sama dengan pola pikir pada1960 an, yakni untuk memukimkan kembali O'Hongana Manyawa. Bokum keluar penjara pada 24 Januari 2022 setelah menjalani tujuh dari 15 tahun masa hukumannya. Ia memang diperbolehkan bebas lebih cepat, tapi tujuh tahun tetap bukan waktu yang singkat.

Selama di bui, Bokum perlahan belajar bicara, membaca, dan menulis bahasa Indonesia. Ia pun masuk Kristen Protestan dan mulai rajin beribadah, serta kemudian mengenal ponsel, pakaian necis, dan bahkan parfum. "Pokoknya minta bawa parfum terus kalau dijenguk. Dia mau yang lavender," kata Maharani Caroline, kuasa hukum Bokum dan Nuhu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi, Halmahera Timur, sembari terkekeh. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Ternate, Bokum satu sel dengan Paulus (bukan nama sebenarnya), orang Tobelo yang ditangkap karena tindak pidana korupsi.

Karena bisa bahasa Tobelo Dalam, Paulus kerap membantu menerjemahkan pembicaraan Bokum dan Rani ketika yang terakhir sedang datang menjenguk. Apalagi, saat itu Bokum belum lancar betul berbahasa Indonesia. Rani mulanya tak menaruh curiga pada Paulus. Hingga satu hari, petugas Lapas memberi tahu Rani, ada kuasa hukum lain yang menemui Bokum. Ternyata, ia pengacara kenalan Paulus dari Manado, yang datang meminta Bokum meneken surat kuasa penjualan tanah dan pembukaan rekening bank. Polos, Bokum membubuhkan tanda tangannya sesuai arahan Paulus.

Kaget, Rani segera menelepon dan mencecar Paulus, meminta penjelasannya. "Dia bilang, 'Enggak, itu maunya Bokum,'" kata Rani menirukan perkataan Paulus kala itu. "Macam macam dia kasih alasan, tapi dia enggak pernah kasih surat kuasanya ke aku."

Setelahnya, Paulus memblokir nomor Rani. Paulus disebut selalu menghindari Rani hingga akhirnya ia keluar penjara lebih dulu dari Bokum. Saat tiba giliran Bokum menghirup udara bebas, Paulus datang lagi ke lapas, berusaha menjemput Bokum bersama seorang pengusaha dan polisi. Petugas lapas mengabari Rani soal ini. Rani panik. Ia segera meminta Faris Bobero, penulis dan peneliti, serta Munadi Kilkoda, saat itu ketua AMAN Maluku Utara, untuk menjemput Bokum.

Akhirnya, Bokum dibawa ke rumah petugas lapas. Paulus dan dua rekannya mengikuti. Rani menyusul ke sana dan berkonfrontasi langsung dengan mereka. "Kalian siapa?" tanya Rani ke tiga orang tersebut. Mereka mengaku dari sebuah yayasan kemanusiaan yang rutin membantu orang orang Tobelo Dalam.

"Begitu alasannya, padahal aku tahu [salah satu di antaranya] adalah polisi," kata Rani. Setelah beberapa hari tinggal di rumah petugas lapas, Bokum dipindahkan ke kantor AMAN Maluku Utara di Ternate. Bokum tinggal di sana kurang lebih sebulan sembari menunggu Syaiful Madjid yang sedang ada urusan di Jakarta.

Syaiful, akrab disapa Ipul, adalah sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang ditugaskan mengantar Bokum kembali ke hutan. "Aku enggak percaya orang lain antar dia selain Bang Ipul," ujar Rani. Setelah Syaiful tiba, Bokum bersiap pulang. Sebelum pamit, ia bilang pada Rani ingin berkebun setibanya di rumah.

Rani bercanda, "Enggak ada lagi tanahmu. Tanam saja di polybag ." Mereka tertawa. Bokum dan Syaiful berangkat. Setelah berhasil menemukan keluarganya di hutan Ake Jira, Bokum menelepon Rani dengan ponsel yang dibawanya dari kota.

"Kamu sudah berkebun belum?" "Pohon pohon sudah roboh. Tidak ada lagi." Ternyata, candaan Rani berubah jadi kenyataan.

Bokum bilang ia kaget melihat kondisi hutan yang telah berubah drastis dibanding sebelum ia ditangkap. Ia butuh jalan semakin jauh ke dalam untuk menemukan keluarganya, pun bila ingin menggarap lahan untuk berkebun, katanya kepada Rani. Selama Bokum pergi, penambangan nikel memang kian masif, yang imbasnya memicu para "mafia tanah" untuk mengaveling dan menjual lahan di hutan hutan Halmahera ke berbagai perusahaan demi keuntungan pribadi, merujuk hasil riset Transparency International Indonesia (TII). Mulanya, seorang "pemburu" akan menjelajah hutan untuk mencari lahan lahan yang diinginkan sebuah perusahaan tambang, kata Eko Cahyono, peneliti senior dari Sajogyo Institute yang terlibat dalam riset TII.

Setelah ketemu, pelaku akan mencari dukungan dana dan politik dari pihak pihak tertentu, sebelum kembali ke hutan untuk tinggal di sana berbulan bulan. Untuk apa? Mengecat batas lahan yang disasar, yang luasnya bisa mencapai ratusan hektare, kata Eko. "Enggak peduli itu tanah punya siapa, pokoknya kalau ada tanah yang diinginkan, dia kaveling," kata Eko. Menurut riset TII, pelaku lalu akan mengurus Surat Kepemilikan Tanah (SKT) di kantor desa terkait, menjual tanahnya melalui makelar ke perusahaan nikel, dan membagi hasilnya ke seluruh pihak yang terlibat.

Imbasnya, orang Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa kian tersingkir dari rumahnya sendiri. Hutan yang selama ratusan tahun mereka jaga dan lestarikan, kata Eko, direnggut dan dirusak atas nama nikel. Bahkan, Eko bilang apa yang terjadi di Halmahera kini berpotensi jadi "etnogenosida" terhadap O'Hongana Manyawa. Mudahnya, komunitas ini bisa jadi ada di ambang kepunahan. Caroline Pearce, direktur Survival International, menyampaikan hal senada. Operasi tambang nikel di Halmahera, katanya, telah menimbulkan "bencana hak asasi manusia" yang berisiko memicu "genosida" terhadap O'Hongana Manyawa.

Karena itu, Survival International terus melobi sejumlah perusahaan tambang serta produsen baterai dan kendaraan listrik untuk menghentikan operasi atau investasinya di Halmahera yang disebut merusak hutan dan menyingkirkan O'Hongana Manyawa. Usaha ini tampaknya tak sia sia. Pada Mei 2024, Tesla bilang sedang menjajaki ide penerapan area bebas tambang di Halmahera dan menyerukan agar pemasoknya dari Indonesia melindungi hak hak komunitas adat.

Sebulan berselang, BASF, produsen bahan baku baterai asal Jerman, mengumumkan batal bekerja sama dengan Eramet untuk menjalankan proyek Sonic Bay senilai US$2,6 miliar (Rp42,15 triliun). Melalui proyek ini, tadinya BASF dan Eramet bermaksud membangun pabrik HPAL baru di Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera. BASF bilang ia batal berinvestasi di Halmahera karena "perubahan pasar nikel global". Banyaknya opsi untuk mendapat pasokan nikel saat ini membuat perusahaan merasa tak perlu membangun pabrik HPAL sendiri dan mengamankan pasokan langsung dari Indonesia.

Di luar itu, Survival International yakin besarnya tekanan publik dan pernyataan Tesla soal area bebas tambang di Halmahera ikut memengaruhi BASF untuk mundur dari proyek Sonic Bay. Namun, perlu diingat bahwa Sonic Bay hanyalah satu dari ratusan proyek smelter nikel di Indonesia. Ada total 116 proyek smelter nikel di Indonesia pada 2023, termasuk yang telah beroperasi, sedang konstruksi, dan masih dalam perencanaan.

Kebutuhan bijih nikel untuk 47 smelter yang telah beroperasi pada 2023 saja menyentuh 233,5 juta ton, meski saat itu total produksi nikel Indonesia hanya 193 juta ton. Sementara itu, bila pembangunan 116 proyek smelter tersebut rampung semua, mereka diperkirakan akan membutuhkan pasokan bijih nikel hingga 526,5 juta ton per tahun. Entah bagaimana nasib Bokum dan para O'Hongana Manyawa lainnya saat seluruh smelter itu telah beroperasi dan penambangan nikel kian marak di Halmahera.

Kata Rani dari LBH Marimoi, Bokum sekarang sama sekali tak mau keluar hutan meninggalkan wilayahnya, kecuali untuk beribadah di gereja seminggu sekali dan sesekali mengisi daya ponsel. Bokum memang sudah bisa baca tulis, mengenal agama, ponsel, dan pakaian necis. Namun, rumah dan hatinya tetap ada di hutan Halmahera. Dan Bokum, sebut Rani, kini hanya ingin hidup tenang.

Wartawan Martin Yip di Hong Kong berkontribusi di liputan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *